Pemberdayaan Kembali Perempuan Minang di Nagari (Reempowerment of Women) : Model Pendekatan Kebijakan Pembangunan yang Responsif Gender Berbasis Nagari.
Peneliti | Dr. Fatmariza, H.M.Hum., |
Judul Penelitian | Pemberdayaan Kembali Perempuan Minang di Nagari (Reempowerment of Women) : Model Pendekatan Kebijakan Pembangunan yang Responsif Gender Berbasis Nagari. |
Tahun penelitian | 2013 |
Jenis Penelitian | Riset Terapan |
Lokasi Penelitian | - |
Status Penelitian | Sudah Selesai |
Abstrak
Secara umum di semua wilayah, dan bahkan di seluruh dunia perempuan merupakan lebih dari separuh jumlah penduduk. Artinya secara potensial kamjuan atau kemunduran suatu wilayah separuhnya ditentukan oleh kemajuan atau kemunduran kaum perempuannya. Bahkan beberapa penelitian di beberapa neara menunjukkan bahwa Negara-negara dimana perempuannya lebih maju dan lebih berdaya, berdampak positif jauh leih besar terhadap kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara umum. Namun sayangnya, sejauh ini masih banyak wilayah yang belum menyadari akan kondisi ini. Berbagai kebijakan pembangunan belum menempatkan perempuan sebagai subjek pembangunan. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan pembangunan yang ada belum mempertimbangkan kondisi, posisi, dan kebutuhan perempuan baik yang praktis maupun strategis. Selain itu, banyak permasalahan yang dihadapi perempuan yang diakibatkan oleh tidak adanya kesetaraan dan keadilan gender di dalam masyarakat baik sebagai akibat kultural maupun struktural. Bahkan WHO menggambarkan ketidakadilan gender dalam bidang ekonomi yang melanda sebahagian besar perempuan, bahwa dua pertiga kegiatan ekonomi dunia dilaksanakan oleh perempuan, namun perempuan hanya menikmati sepersepuluhnya, lebih parah lagi di Negara berkembang. Di Sumatera Barat yang menjadikan Nagari sebagai jenis basis pembangunan, pemberdayaan perempuan harus dilakukan lebih giat lagi mengingat secara empiris setelah 10 tahun desentralisasi ditemukan: pertama secara kelembagaan pemberdayaan perempuan pada umumnya hanyalah sub bagian dari lembaga yang menangani masalah sosial, pemuda, olah raga, dan perempuan. Para pengelola masih cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang pemberdayaan perempuan, selain juga anggaran yang relative kecil (Fatmariza; 2003). Kedua, masih kentalnya bias gender elit baik politik, pemerintahan, maupun, tokoh masyarakat (Hallen, 2004). Ketiga, masih rendahnya partisipasi politik perempuan, cenderung meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan (Fatmariza, 2008) dan meningkatnya perceraian yang berakibat terhadap kemiskinan perempuan (Yuni Suasti dan Fatmariza; 2004). Keempat, masyarakat cenderung terbuai dengan posisi imajinatif perempuan yang tinggi dalam masyarakat minangkabau sehingga sulit untuk menyadari adanya masalah yang dihadapi perempuan baik oleh perempuan itu sendiri, maupun orang lain (Hayati Nizar; 2000). Kelima, organisasi-organisasi perempuan di tingkat local relative belum produktif sebagai lembaga pemberdayaan. Keenam, relative sedikit tokoh-tokoh perempuan yang mampu bertindak sebagai agen bagi perempuan ditingkat lokal.