Membangun Gerakan Nagari Anti Korupsi Berbasis Masyarakat Lokal (Indigenous People) : Studi Pada Tiga Kanagarian di Wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
Peneliti | Dr. Bob Alfiandi, M.Si |
Judul Penelitian | Membangun Gerakan Nagari Anti Korupsi Berbasis Masyarakat Lokal (Indigenous People) : Studi Pada Tiga Kanagarian di Wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat |
Tahun penelitian | 2018 |
Jenis Penelitian | Riset Murni |
Lokasi Penelitian | Sumatera Barat |
Status Penelitian | Dalam Proses |
Abstrak
Gerakan Nagari Anti Korupsi ini lahir dari keprihatinan atas permasalahan pengelolaan keuangan Nagari.Bentuk permasalahan nyatanya adalah Walinagari terindikasi melakukan tindakkorupsi dalam perencanaan, penganggaran dan membelanjakan Anggaran Pendapatan Belanja Nagari (APB Nagari). Hal ini tentu bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku mulai dari UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, PP No.47 Tahun 2015 tentang perubahan atas PP No.43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014, dan peraturan perundangan turunannya. Jika dibiarkan tindak korupsi Walinagari ini melembaga, maka pemimpin masyarakat lokal yang terkait perannya dengan adat dan agama ini akan mengalami dekadensi moral dan berondong pondong masuk penjara. Hal ini tentu bukan saja akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan terbawah, di Sumatera Barat, namun juga akan merusak sendi-sendi keharmonisan kehidupan masyarakat di Nagari. Terhadap permasalahan tersebut, pemerintah telah berusaha melakukan pencegahan. Diantaranya, melatih Walinagari dan perangkat Nagari mengenai tata kelola keuangan Nagari. Departemen Keuangan juga telah menerapkan pengisian borang on-line untuk meminimal pertemuan personal birokrat, sehingga rentan terjadi makar terhadap keuangan Negara tersebut. Namun, upaya itu belum cukup. Tindak korupsi ini masih sering ditemukan dalam laporan-laporan penelitian mahasiswa studi akhir. Media massa juga masih memberitakan Walinagari yang masuk penjara. Oleh karenanya, gerakan sosial yang disebut dengan nama Gerakan Nagari Anti Korupsi yang akan dilakukan ini mencoba menggunakan argumentasi perspektif indigenous people (PBB menerjemahkannya menjadi Masyarakat Adat), mengingat Nagari adalah puncak peradaban masyarakat adat Minangkabau. Sebagai puncak dari peradaban di Nagari, tentu telah memiliki pranata-pranata sosial anti korupi. Hanya saja, karena kekuasaan di luar nagari, pranata tersebut terlingkupi dan melemah. Pranata-pranata sosial yang memiliki signifikansi membendung prilaku manipulatif dan koruptif tersebutlahyang kemudian ingin dimobilisasi menjadi gerakan lokal yang disebut Gerakan Nagari Anti Korupsi yang tujuannya agar terbentuk lembaga anti korupsi permanen di tingkat Nagari. Teori yang menghela Gerakan Nagari Anti Korupsi ini utamanya bersumber dari teori-teori Mobilisasi Sumberdaya, mulai dari Olson 1965, Zald dan Ash (1966), McCarthy danZald (1977), Oberschall (1973;1978) hingga Tilly (1978). Namun, pada tahun pertama, teori ini sulit menghela kaji tindak ini, mengingat permasalahannya justru pada pemahaman yang beragam dari para pelaku implementasi UU Desa. Pemahaman yang beragam tersebut menjadi lebih kompleks, ketika kekuasaan dan wewenang tidak setara. Maka, diperlukan penambahan teori yakni teori fusi cakrawala berpikir yang dikemukakan oleh Hans Georg Gadamer. Dengan asumsi, jika fusi cakrawala berpikir tercapai, maka implementasi UU Desa, yang minimal tindak korupsi tercapai. Gerakan social tahun kedua ini, ditujukan pada gerakan pencapaian fusi cakrawala berpikir tersebut. Sedang metodologinya adalah Community Base Participant Action Research (CBPAR).